Hari Ibu tahun ini
saya rasakan berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya saya bukan
seseorang yang ikut ramai-ramai
mengungkapkan kasih sayang pada ibu di bulan Desember ini. Saya bukan pula yang merasa perlu
merenungkan pengorbanan seorang ibu setiap setahun sekali dan menjadikan
tanggal 22 Desember sebagai tanggal yang perlu di beri tanda.
Saya selalu
mengangumi pengorbanan,perjuangan,serta kekuatan seorang ibu sejak saya harus
memahami perjalanan hidup. Kekaguman itu lahir begitu saja mengikuti hari-hari
saya tanpa perlu menunggu setahun sekali.
Dimulai sejak tadi
pagi,ketika saya mengikuti pengajian
rutin di masjid dekat rumah , saya diingatkan lagi betapa hebatnya seorang
ibu,betapa pentingnya peranan ibu bagi pendidikan anaknya. Acara di masjid itu
diakhiri dengan tukar kado di antara ibu-ibu. Alhamdulillah walaupun saya lupa
membawa kado ,saya malah mendapatkan sebuah buku sebagai kado dari teman di
sana.
Namun bukan itu yang
membuat saya tergelitik untuk menuangkan pikiran saya dalam sebuah
tulisan.Sejak pulang dari masjid saya terus mendapat kiriman tulisan Ibu Ainun Habibie tentang
"Mengapa saya tidak bekerja". Tulisan itu terus di up load
teman-teman saya baik melalui BB atau FB.
Saya senang
membacanya, terharu melihat betapa
besarnya pengorbanan seorang ibu.
Tapi ada yang
bergeliat di hati saya,ada kesedihan. Kesedihan yang saya dapat karena teringat
teman-teman saya : Para Ibu Karier,ibu yang bekerja.
Ibu Ainun Habibie:
Mengapa saya tidak
bekerja? Bukankah saya seorang dokter? Memang. Dan sangat mungkin saya bekerja
waktu itu. Namun saya berfikir: buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang
barang kali cukup banyak jika akhirnya di berikan pada perawat anak yang bergaji
cukup tinggi dengan resiko kami kami kehilangan kedekatan anak sendiri. Apa
artinya tambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang
sendiri,saya bentuk pribadinya sendiri?
Saya kagum dengan
kekuatan ibu Ainun menepis ego nya demi
jalinan antara seorang ibu dan anak.Padahal beliau adalah seorang dokter,sebuah
profesi yang terhormat .Tapi demi anak
beliau merelakan keinginannya untuk berkarier di bidang itu. Bukan hanya uang
yang beliau tolak juga kemungkinan akan prestasi dan penghargaan masyarakat
yang akan beliau capai. Sebagai seorang ibu,apa yang di lakukan Ibu Ainun
sungguh luar biasa.
Tapi ternyata di
saat ibu Ainun harus harus mengorbankan uang tambahan dan kepuasan batin dalam
bekerja,seorang teman saya justru sebaliknya.
Dia bukanlah seorang
dokter. Cita-citanya sederhana
menikah,punya anak serta membesarkannya. Namun Tuhan berkata lain.Dia
menikah tapi suaminya tidak bekerja. Tidak terfikir olehnya untuk berkarir yang
di inginkannya hanya menjadi seorang ibu. Jiwa keibuannya pulalah yang membuat
dia menyingsingkan lengan baju,menata rambutnya,memakai sepatu dan pergi keluar
bertarung dengan hidup agar anaknya mendapatkan kehidupan yang layak. Dia tidak
berfikir tentang kepuasan batin. Yang
dia fikirkan adalah susu anaknya dan kelangsungan rumah tangganya.
Dari pagi hingga
petang dia relakan timangannya berada di tangan orang,mungkin dalam benaknya
terfikir " Aku memang tidak berada
di sana bersama mu Nak...Tapi hadirku di sini untuk mu"
Cerita teman saya
yang lain adalah wanita yang saya kenal
sejak kecil sebagai seseorang yang sangat cerdas dan selalu terdepan. Dia lebih
beruntung ,suami yang dinikahinya punya
penghasilan. Tapi ketika saya bertanya kenapa dia memilih untuk bekerja? Apakah
karena ia ingin terus menikmati decak kagum orang lain atas prestasi yang
diraihnya? Ternyata bukan. Dia memilih bekerja membantu suaminya agar dia bisa
memberikan pendidikan terbaik untuk anak-anaknya tanpa halangan financial. Dia
menyiapkan masa depan anaknya dengan mengorbankan kebersamaan.
Ini adalah potret
pengorbanan lain dari seorang ibu,seorang perempuan. Dan ketika perempuan di
hadapkan pada masalah kehidupan yang berbeda mereka selalu mempunyai kesamaan
dalam skala prioritas. Anak akan selalu menjadi prioritas utama. Ibu Ainun dan
teman saya sangat jauh berbeda tapi mereka melakukan hal yang sama. Melihat
keadaan,menimbang,dan memutuskan sesuatu berdasarkan prioritas yang sama.
Memang sungguh tidak
seimbang antara tambahan uang dan kepuasan profesional dibandingkan kedekatan
dan kebersamaan antara ibu dan anak yang
didapat kala kita menjadi "full time mom",seperti yang di katakan ibu
Ainun.
Tapi rasanya tidak
adil bila hal ini di anggap berlaku dan menjadi penyebab keputusan setiap
wanita yang memilih menjadi Ibu Karier.
Kebanyakan wanita yang bekerja bukan mengejar karier.lebih dari sekedar
itu,mereka terpaksa berada di luar rumah untuk membantu suami menegakkan tiang
rumah tangga,memastikan roda berputar tanpa kendala. Walaupun demi itu mereka
harus memendam kerinduan setiap saat untuk menimang anaknya di rumah. Bahkan kadang menahan air mata demi profesinalisme disaat hati menjerit ingin berada disisi
anaknya yang sedang sakit.
Saya melihat banyak perempuan hebat yang
berkomitmen membantu membangun ekonomi keluarga tapi tetap memainkan peranan
sebagai ibu. Mungkin mereka kehilangan banyak waktu kebersamaan secara fisik
tapi tidak secara kwalitas. Pernahkah
anda melihat wanita pekerja yang setiap hampir 3 jam menelpon ke rumah
membicarakan hal-hal kecil dengan anaknya? Memastikan makanannya,pekerjaan
rumahnya,keperluan sekolahnya,bahkan waktu tidurnya?
Atau pernahkah
terbayang seseorang yang setelah bekerja 8 jam sehari di bawah segala tekanan
profesional pulang kerumah duduk bersama
anaknya membantu mereka mengerjakan PR mengusahakan agar anaknya menjadi yang
terbaik.
Dia tidak
mengeluh,bahkan menganggap itu adalah harga yang harus dibayar setelah
meninggalkan buah hatinya seharian.
So...,dari cerita
saya manakah yang lebih baik? Ibu Karier
atau Ibu Rumah tangga ?
Tidak perlu
risau,kita tidak perlu menjadi wanita karier untuk membuktikan eksistensi kita.
Perempuan berijazah tidak selalu harus pergi keluar rumah untuk berkarya. Ibu adalah seorang manajer tanggung jawabanya luar biasa.Perusahaannya bernama
Rumah Tangga.
Nikmatilah
kelebihan-kelebihan yang kita miliki tanpa perlu merasa berkecil hati.
Ibu Karir bisa tetap menjadi seorang ibu yang baik
tanpa kehilangan momen penting dalam kehidupan anak -anak. Jangan risaukan
waktu yang berkurang,percayalah setiap tetes keringat lelahmu akan menjadi
sebuah memory bagi buah hati.
Selama prioritas
utama kita adalah anak,kita semua adalah ibu yang baik. Apakah itu Ibu Rumah
Tangga atau pun Ibu Karier.
Akhirnya saya jadi
terpancing untuk mengucapkan : Selamat Hari Ibu untuk semua teman-teman
saya.Selamat menikmati setiap momen indah dalam perjalanan sebagai seorang ibu.