Thursday, May 31, 2012

Toko Kue Tua di Braga

Menemani suami dalam perjalanan dinasnya bisa menjadi hal yang menyenangkan namun bisa juga sangat membosankan. Bagaimana tidak, dia meeting seharian sementara kita manyun sendirian. Pagi itu, saya memustuskan untuk ikut keluar dari hotel lebih awal .

Rupanya, pagi  di Bandung hampir sama seperti Jakarta: sibuk dan padat, sebuah pemandangan yang melelahkan.Saya menyusuri jalan Braga, melihat keunikan dari bangunan-bangunan tua yang ada disana. Angan saya ikut melayang menyesuaikan dengan pemandangan yang saya lihat. Saya terhibur. Macetnya kendaraan di jalan itu tidak lagi mengganggu saya. Saya hanyut dengan daya magis kekunoan yang di pancarkan sepanjang jalan.  Bangunannya saja yang kuno, tapi kehidupan dan gaya hidup yang ditawarkan tetap modern.

Kaki saya terhenti ketika berada tepat di depan sebuah bangunan yang juga tua, tapi yang ini berbeda. Ketika saya mendekat, saya melongok ke dalam . Sebuah papan dengan tulisan RM Sumber Hidangan.

"Wow.... surprise!" Sebagai seorang tukang kue tentu saja, kemana pun saya pergi, yang saya cari adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan saya. .Saya sudah mulai bosan dengan  Bakery modern yang ada di bandung karena tidak lagi melihat keunikannya.Menemukan toko ini seperti menemukan sesuatu yang sangat berharga. Hati saya langsung girang .

Toko yang sangat tua ini, mengingatkan saya pada  rumah - rumah di film horor. Wangi butter yang biasanya datang dari dapur tidak saya rasakan sebagaimana layaknya sebuah toko kue. Malah sebaliknya bau tua dan pengaplah yang tercium oleh saya..Deretan etalase dengan kaca yang sudah buram membersitkan kepiluan dalam hati . Tidak seluruh etalase itu terisi kue dan roti bahkan hampir sebagian besar kosong. Keadaan itu menambah muram hati saya.

Roti dan kue ditaruh sekenanya di atas loyang tanpa sedikit usaha untuk memberikan nilai estetika dalam penyusunannya. Mereka menaruh nama di setiap kue, namun saya tidak mengerti, bahkan membacanya pun saya bingung, karena terlalu banyak konsonan di sana. Semua nama kue itu berbahasa  Belanda, hanya dua yang saya tau Kaastengels dan Katetong, dan keduanya adalah kue kesukaan saya sejak sejak kecil.

Seorang wanita berumur sekitar 50 tahun melayani saya.  Dia menggunakan celemek berwarna pink yang menutup separu  tubuhnya yang besar. Ibu ini tidak bisa dibilang ramah apabila dibandingkan dengan  pramuniaga di bakery modern yang biasanya sudah dilatih menyapa dan membuat customer membeli. Si Ibu melayani saya dengan keramahan seadaanya, tapi saya cukup terhibur dia mau menjawab banyak pertanyaan saya sambil tersenyum. Walaupun ia terlihat buru-buru .

Saya membeli katetong, kaastengels, dan roti kismis yang konon jadi andalan toko ini. Tapi bukan itu saja yang saya dapat. Acara pilih-pilih kue tadi saya selingi dengan banyak bertanya. Saya jadi tau bahwa toko tua itu masih menghidupi 30 orang karyawan, dipimpin oleh seorang wanita penerus generasi ke2 yang sudah berumur 80 tahun. Saya bahkan masih melihat Sang Nyonya bolak-balik ke dapur mengecek pekerjaan di sela kesibukannya meniliti lembaran kertas. Luar biasa....

Karyawan yang ada di sana rata-rata sudah bekerja di atas 15 tahun, bahkan ibu kasir yang berambut putih itu sudah bekerja di sana lebih dari 50 tahun.


Saya sudah menyelesaikan acara belanja dan telah pula menyelesaikan pembayaran, tapi kaki saya enggan melangkah keluar. Mata saya terus menatap sekeliling toko itu. Ingin rasanya saya melihat dapur merasakan gairah yang ada di sana. Tapi saya tau dapur sebuah toko kue bukanlah sesuatu yang dengan mudah diperlihatkan. Saya simpan keinginan itu walau saya tidak dapat menahan diri untuk berhenti menatap pintu dapur. Setiap ada yang keluar dari sana, saya bertanya dalam hati "siapakah dia?"  "Sudah berapa lama dia disini ? Apa posisinya? Cintakah dia dengan toko ini? Bangga kah dia dengan pekerjaannya?"

Banyak pertanyaan dalam hati saya, masih banyak cerita yang ingin saya dengar, saya ingin menyelami perasaan Sang Nyonya, saya ingin mengintip rasa cinta yang dia tebarkan pada karyawan sehingga mereka bertahan dalam waktu yang sangat lama. Saya yakin alasannya bukan uang. Saya ingin tahu bagaimana rasanya mempunyai penghormatan yang begitu dalam pada resep original sehingga beliau tidak tergoda mengubahnya sedikitpun. Saya tahu itu karena saya sempat mencicipi kaastengels yang rasanya benar-benar jadul.

Keluar dari toko, dada saya sesak dengan keharuan, Bagi saya toko itu bukan cuma menjual roti dan kue Toko itu jadi simbol usaha yang dibangun dengan cinta di dalamnya. Kesetiaan Sang Nyonya terhadap resep original adalah bentuk penghormatan  dan cintanya pada keluarga. Jiwa yang digunakan Sang Nyonya dalam memimpin usaha menebarkan aura pada karyawannya hingga cinta jugalah yang mengikat mereka.

Saya membayangkan toko saya di Lampung. Mampukah saya memimpinnya dengan jiwa yang baik dan  menjadikannya sebagai simbol kecintaan pada profesi, kebersamaan dan  tujuan yang lebih dari sekedar uang?

.

No comments:

Post a Comment